KONSEP
HAK
(MAKALAH DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH : FIQIH MUAMALAH
DOSEN : Mukhtar Luthfi
Disusun
oleh :
KELOMPOK 3
Ø SULASTRI (90400114093)
Ø AGUS RAHMAT (90400114107)
Ø TRY SUTRIANI
SUPARDI (90400114117)
Ø BURHANUDDIN (90400114128)
Ø NURULITHA SAFITRI (90400114136)
AKUNTANSI 2014
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak
dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia
. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan timbul hak dan
kewajiban yang akan mengikat keduanya. Dalam jual beli misalnya, ketika
kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan kewajiban. Yakni hak
pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual untuk memberikan barang,
serta hak penjual untuk menerima uang dan kewajiban pembeli untuk memberikan
uang.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT tidak hanya diperintahkan
untuk beribadah kepada Allah semata. Dalam pada itu, manusia juga diberikan
tugas oleh Allah SWT untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan hidupnya
di muka bumi. Tugas ini memang tidak mudah, namun Allah SWT telah membuat
sebuah sistem yang berfungsi sebagai pedoman dan pengantur bagi manusia untuk
memelihara kesejahteraan hidupnya di muka bumi. Sistem ini bernama Din
Islam.
Agama Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sistem ini
tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah SWT, atau yang
sering disebut hubungan vertikal. Namun, lebih dari itu agama islam sebagai
sebuah sistem juga mengatur hubungan antar sesama manusia dan seluruh ciptaan
Allah SWT, misalnya tumbuhan dan hewan.
Dalam Islam,
hubungan antar sesama manusia(hubungan horizontal) di bahas dalam ilmu fiqh (
baca : fiqh muamalat ). Contohnya, tentang konsep hak dalam islam. Para ulama
fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikan kata hak . Menurut Ali
al-khafif hak adalah kemaslahatan yang diperoleh secara syara, sedangkan
Mustafa Ahmad az-Zarqa’ menyatakan bahwa hak dalah suatu kekhususan yang
padanya (hak kekhususan tersebut ) ditetapkan oleh syara’ sebagi suatu
kekuasaan. Adapun perbedaan timbul disebabkan oleh pemahaman mereka dalam
menafsirkan nash–yang berhubungan dengan hak–berlainan.
Pembahasan seputar konsep hak dalam
Islam tidak terlepas dari pembahasan tentang kepemilikan, ketetapan
atau kekuasaan terhadap harta ataupun bukan harta. Dari pernyataan
tersebut timbul dua pertanyaan, pertama apakah benar bahwa hak hanya terbatas
pada kekuasaan, kepemilikan atau kekuasaan terhadap sesuatu? Kedua, siapakah
sebenarnya pemilik dari hak itu sendiri ?
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hak ?
2. Apa Sajakah Sumber-Sumber Hak ?
3. Apa Sajakah Macam-Macam Hak ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Hak
Manusia memulai penghidupannya
secarabermasyarakat dan belum tumbuh hubungan antara seorang dengan yang
lainnya, maka belum ada pula apa yang kita namakan hak. Setiap manusia hidup bermasyarakat,bertolong menolong dalam
menghadapi berbagai macam kebutuhanitu, seseorang perlu mencari mencari apa
yang dibutuhkannya, dari alam atau milik orang lain. Dari sinilah timbul
pertentangan – pertentangan kehendak. Maka untuk memelihara kepentingan masing
– masing perlu adanya norma yang mengatur sehingga tidak melanggar hak orang
lain.
Fiqih islam telah menetapkan beberapa
tata aturan , beberapa hukum, baik yang merupakan dasar maupun yang merupakan
cabang dengan cara yang sangat sempurna yang belum pernah dikenal oleh tasyri’-
tasyri’ yang lain.
B.
Pengertian Hak
Hak dan kewajiban adalah sesuatu
yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika mereka
berhubungan dengan orang lain, maka akan tumbul hak dan kewajiban yang mengikat
keduanya. Dalam hal jual beli misalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka
akan muncul hak dan kewajiban. Yakni, hak pembeli untuk menerima barang, dan
kewajiban penjual untuk menyerahkan barang. Atau, kewajiban pembeli untuk
menyerahkan harga barang (uang), dan hak penjual untuk menerima uang. Dalam
konteks ini, akan dibahas segala sesuatu yang terkait dengan hak.
Kata hak berasal dari bahasa
Arab 'haqq' yang memiliki beberapa makna. Di antaranya,
hak bermakna 'ketetapan' atau 'kewajiban' hal ini bisa dipahami dari firman
Allah dalam QS. Al Anfal:8 atau juga dalam QS. Yunus:35
Secara istilah, hak memiliki
beberapa pengertian dari para ahli fiqh. Menurut ulama kontemporer Ali Khofif, hak adalah sebuah
kemashlahatan yang boleh dimiliki secara syar'i. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa , hak adalah sebuah keistimewaan yang
dengannya syara' menetapkan sebuah kewenangan (otoritas) atau
sebuah beban (taklif). (Zuhaili, 1989, IV, hal.9)
Dalam definisi ini, hak masuk dalam
ranah religi, yakni hak Allah atas hamba-Nya untuk beribadah, seperti shalat,
puasa, zakat dan lainnya. Atau juga masuk dalam hak kehidupan madani, seperti
hakkepemilikan, atau hak yang bersifat etik, seperti hak untuk ditaati bagi
orang tua, hak untuk dipathi seorang isteri bagi seorag suami. Atau juga masuk
dalam ranah publik, seperti hak pemerintah untuk dipatuhi rakyatnya, atau
hak-hak finansial, seperti hak menerima nafkah, dan lainnya.
Kata kewenangan dalam defiisi di
atas, adakalanya berhubungan dengan seseorang, seperti hak untuk dirawat (hadlanah)
atau juga berhubungan dengan sesuatu yang definitif, seperti hak kepemilikan.
Sedangkan kata 'taklif'adakalanya merupakan sebuah kewajiban atas
diri manusia yang bersifat finansial, seperti membayar hutang, atau
merealisasikan sebuah tujuan tertentu, seperti seoarang pekerja yang harus
menyelesaikan pekerjaannya.
Dalam ajaran islam, hak adalah
pemberian ilahi yang disandarkan pada sumber-sumber yang dijadikan sebagai
sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara'. Dengan demikian,
sumber hak adalah kehendak atau ketentuan hukum syara'. tidak
akan ditemukan sebuah hak syar'i tanpa adanya dalil syar'i yang
mendukungnya.
Dengan demikian, sumber hak adalah
Allah SWT, karena tiada hakim selain dia, tiada dzat yang berhak untuk
mensyariatkan sesuatu, selain Allah. Tiada syariat yang dijalankan manusia,
kecuali syariat-Nya. Untuk itu, manusia memiliki kewajiban untuk menghormati
hak orang lain. Di samping itu, pemilik hak harus menggunakan haknya secara
proporsional, sehingga tidak menimbulkan kemudlaratan bagi orang lain.
C. Antara Hak dan Iltizam
Substansi
hak sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak
lain dari sisi penerima dinamakan hak, sedang pelaku disebut iltizam.
Secara bahasa, iltizam bermakna keharusan atau kewajiban. Sedangkan
secara istilah adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain
berbuat memberikan sesuatu, atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat
sesuatu.
Pihak yang
terbebani oleh hak orang lain dinamakan multazim, sedang
pemilik hak dinamakan multazam ataushahibul haqq.
Antara hak dan iltizam terdapat keterkaitn dalam sebuah
hubungan timbal balik antara perbuatan menerima dan memberi. Dari sisi penerima
dinamakan hak, dan dari sisi pemberi dinamakan iltizam.
Dalam
akad mu'awwadahah (saling menerima dan melepaskan) hak dan iltizam berlaku
pada masing-masing pihak. Misalnya dalam akad jual beli, penjual berstatus
sebagai multazim sekaligus sebagai shahibul haqq.
Demikian juga dengan pembeli. Hal yang sama juga berlaku dalam akad ijarah.
Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dalam akad mu'awwadhah, masing-masing
mempunyai haksebagai penyeimbang atas kewajiban yang dibebankan kepadanya, atau
masing-masing mempunyai kewajiban sebagai penyeimbang atas hak yang
diterimanya.
D. Sumber-Sumber Hak
Sebelumnya
telah dijelaskan bahwa syariatdan aturan hukum merupakan sumber adanya suatu
hak. Keduanya sekaligus merupakan sumber utama iltizam, sedangkan sumber yang
lain adalah sebagai berikut;
- Aqad, yaitu kehendak kedua belah
pihak (iradah al'aqidaini) untuk melakukan suatu kesepakatan
(perikatan), seperti akad jual beli, sewa-menyewa dan lainnya
- Iradah
al-munfaridah (kehendak sepihak, one side), seperti ketika seseorang mengucapkan sebuah
janji atau nadzar
- Al-fi'lun
nafi' (perbuatan yang bermanfaat), misalnya ketika seseorang melihat orang
lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan atau pertolongn, maka
ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya
- Al-fi'lu al-dlar (perbuatan yang
merugikan), seperti ketika seseorang merusak, melanggar hak atau kepentingan
orang lain, maka ia terbebani iltizam atau kewajiban
tertentu
Iltizam adakalanya berlaku atas harta benda
(al-maal), terhadap hutang (ai-dain) dan terhadap perbuatan
(al-fi'il). Iltizam terhadap harta benda harus dipenuhi
dengan menyerahkan harta benda kepada shahibull haqq. Seperti
keharusan penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan keharusan pembeli
menyerahkan harga barang (uang) kepada penjual.
Iltizam terhadap utang, pada prinsipnya
harus dipenuhi oleh orang yang berhutang secara langsung. Namun dalam kondisi
tertentu, hukum Islam memberikan alternatif lain, yakni mengunakan akad hawwalah atau kafalah.
Iltizamatas suatu perbuatan harus dipenuhi melalui perbuatan yang
menjadi mahallul iltizam. Seperti kewajiban pekerja dalam
akad ijarah, harus dipenuhi dengan melakukan pekerjaan
tertentu, dan lainnya (Zuhaili,1989, IV, hal.23)
E. Macam-Macam Hak
Ulama
fiqih mengemukakan bahwa macam-macam hak dilihat dari berbagai segi, yaitu:
1. Dari Segi Pemilik Hak
a.
Hak
Allah
Hak
Allah SWT, yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
mengagungkan-Nya, seperti melalui berbagai macam ibadah, jihad, amar ma’ruf
nahi munkar.
Hak Allah tidak bisa dilanggar atau pun digugurkan,
tidak bisa ditolerir atau pun dirubah. Hak Allah tidak bisa diwariskan. Ahli
waris tidak diwajibkan untuk menanggung ibadah yang ditinggalkan pewaris,
kecuali terdapat wasiat, ahli waris juga tidak akan ditanya tentang kejahatan
dan dosa pewaris.
b.
Hak
Manusia
Hak
manusia (haq al-‘ibad), yaitu hak yang pada hakikatnya untuk memilihara
kemaslahatan setiap pribadi manusia. Hak ini ada yang bersifat umum seperti
menjaga (menyediakan) sarana kesehatan, menjaga ketentraman, melenyapkan
tindakan kekerasan (pidana) dan tindakan-tindakan lain yang dapat merusak
tatanan masyarakat pada umumnya.
Kemudian
ada lagi hak manusia yang bersifat khusus, seperti menjamin hak milik
seseorang, hak isteri mendapatkan nafkah dari suaminya, hak ibu memelihara
anaknya, dan hak berusaha (berikhtiar) dan lain-lain yang sifatnya untuk
pribadi (individu).
Mengenai
hak manusia ini, seseorang boleh menggugurkan haknya, memaafkanya, mengubahnya
dan boleh pula mewariskannya kepada ahli waris. Jadi, ada kebebasan berbuat dan
bertindak atas dirinya sendiri.
Kemudian hak manusia dibagi menjadi
dua, yaitu:
a. Hak yang dapat digugurkan
Pada dasarnya, seluruh hak yang berkaitan dengan pribadi, bukan yang berkaitan dengan harta benda, (materi) dapat digugurkan.
b. Hak yang tidakdapat digugurkan
o
Hak
yang belum tetap.
o
Hak
yang dimiliki seseorang secara pastiberdasarkan atas ketetapan syara’.
o
Hak-hak
yang apabila digugurkan berakibat pada perubahan hukum-hukum syara’.
o
Hak-hak
yang di dalamnya terdapat hak orang lain.
Kemudian Ulama fiqih juga membagi hak pewarisan. Macam-macam
hak
waris dalam Islam adalah sebagai berikut:
a. Hak-hak yang dapat diwariskan
Hak yang dapat diwariskan menurut Ulama Fiqih diantaranya adalah hak-hak yang dimaksudkan sebagai suatu jaminan atau kepercayaan.
b. Hak-hak yang tidak dapat diwariskan
Mengenai hak-hak yang tidak dapat diwariskan, Ulama fiqih berbeda pendapat. Mahzab Hanafi berpendapat, bahwa hak dan manfaat tidak dapat diwariskan, karena yang dapat diwariskan hanya soal materi (harta benda) saja, sedangkan hak dan manfaat, tidak termasuk materi. Akan tetapi jumhur ulama fiqih berpendapat, bahwa warisan itu tidak hanya materi, hak dan manfaat juga mempunyai nilai sama dengan harta benda.
c.
Hak gabungan antara hak Allah SWT
dan hak manusia (al-haq al-musytarak)
Mengenai
hak ini, adakalanya hak Allah yang lebih dominan (lebih berperan) dan
adakalanya hak manusia yang lebih dominan. Umpamanya dalam masa ” iddah”
terdapat dua hak, yaitu hak Allah terhadap pemeliharaan terhadap nasab janin
dari ayahnya, agar tidak bercampur dengan nasab suami kedua. Disamping itu juga
terdapat hak manusia, yaitu pemeliharaan terhadap nasab anaknya. Dalam kasus
ini, hak Allah lebih dominan, karena pemeliharaan terhadap nasab seseorang
merupakan kepentingan setiap orang dan termasuk hak masyarakat. Karena itu
hak-hak tersebut tidak dapat dimaafkan digugurkan atau diubah.
Contoh
lain ialah menjaga atau melindungi manusia (hidupnya, akalnya, kesehatanya, dan
hartanya). Dalam masalah ini ada dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia,
tetapi hak Allah lebih dominan, karena manfaat menyeluruh kepada masyarakat
banyak.
2. Dari segi obyek hak
a.
Hak maali
Hak yang
berhubungan dengan harta seperti hak penjual terhadap harga barang yang di
jualnya dan hak pembeli terhadap barang yang dibelinya.
b.
Hak ghairu maali
Hak-hak
yang tidak berkaitan dengan harta benda atau materi seperti hak suami untuk mentalak
istrinya karna mandul.
c.
Hak asy-sakhsyi
Hak-hak
yang ditetapkan syara’ bagi pribadi berupa kewajiban terhadap orang lain
seperti hak penjual untuk menerima harga barang yang dijualnya.
d.
Hak al-aini
Hak
seseorang yang ditetapkan syara’ terhadap suatu dzat sehingga ia memiliki
kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu seperti hak
memiliki suatu benda.
Hak 'aini terbagi atas 2, yaitu:
1) Hak
kepemilikan
Hak milik atas suatu
benda. Seperti pakain yang kita pakai, kita punya hak penuh atas pakaian
tersebut.
2) Hak
guna
Hak guna terhadap suatu barang yang bukan
milik kita. Seperti buku yang kita pinjam dari teman, maka kita berhak
menggunakannya, namun tidak berhak menjualnya kepada orang lain.
e.
Hak mujarrad dan ghairu
mujarrad
Hak
mujarrad adalah hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila di gugurkan
melalui perdamaian atau pemanfaatan. Hak ghairu mujarrad adalah suatu hak yang
apabila diguugurkan atau dimaafkan meninggalkan bekas terhadap orang yang
dimaafkan.
3. Dari segi kewenangan pengadilan (hakim) terhadap hak tersebut
Dari segi ini ulama fiqih membaginya kepada dua macam:
a.
Hak diyaani (keagamaan)
Hak-hak
yang tidak boleh dicampuri atau intervensi oleh kekuasaan kehakiman. Misal
dalam persoalan hutang yang tidak dapat dibuktikan oleh pemberi utang, karana
tidak cukup alat-alat bukti didepan pengadilan. Sekalipun tidak dapat
dibuktikan didepan pengadilan, maka tanggung jawab yang berhutang dihadapan
Allah tetap ada dan di tuntut pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Oleh
sebab itu, bila lepas dari hak kekuasaan kehakiman, seseorang tetap di tuntut
di hadapan Allah dan di tuntut hati nuraninya sendiri.
b.
Hak qadhaai
Seluruh hak yang tunduk
di bawah aturan kekuasaan kehakiman sepanjang si pemilik hak tersebut mampu dan
membuktikan haknya di depan pengadilan.
Selain unsur lahiriyah.
yakni perbuatan, unsur batiniyyah seperti niat dan esensi (hakikat) merupakan
unsur penting dalam hak diyani. Sedangkan dalam hak qadlai semata
dibangun berdasarkan kenyataan lahiriyah dengan mengabaikan unsur niat dan
hakikat suatu perbuatan.
Seorang suami yang
menjatuhkan talak terhadap isterinya secara ceroboh (khoto') dan
tidak dimaksudkan secara sungguh-sungguh untuk menceraikannya, seorang hakim
wajib memvonis hukum talak berdasarkan unsur lahiriyah. Yang demikian
hukum qadlai. Sedang hukum diyani bisa jadi
tidak jatuh talaknya, karena tidak ada niat mentalak. Oleh karena itu seseorang
tidak diperkenankan bermain-main dengan kedua hak ini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ajaran islam,
hak adalah pemberian illahi yang disandarkan pada sumber-sumber yang dijadikan
sebagai sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara’.
Sumber hak adalah
Allah SWT karena tiada hak selain dia. Tiada dzat yang berhak mensyari’atkan
sesuatu selain Allah. Tiada syari’at yang dijalankan manusia kecuali
syari’atnya.
Berlebih-lebihan
dalam menggunakan hak dilarang oleh Allah SWT, karena hak yang dimiliki manusia
bukanlah hak mutlak namun hak yang bertanggung jawab, serta hak yang kekal
hanyalah milik Allah SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
Alimin, Muhammad. 2000. Etika dan Perlindungan Konsumen dalam
Ekonomi Islam. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta.
Anonim. 2011. Teori Hak. http://fiqhmuamalah924.blogspot.co.id/2011/02/teori- hak.html, diakses 22 April 2016.
Antonio, Muhammad Syarif , LPPM-Tazkia
2007, Pengantar Fiqh Muamalah.
Ash- Shiddieqy, Hasbi. 2009. Pengantar Fiqih
Muamalah.
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Hadi, Sholikul. 2011. Fiqih muamalah.
Kudus: Nusa
Media Enterprise.
Hasan, M. Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh
Muamalah). Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
ReplyDeletedapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q