Wednesday, March 16, 2016

KEBIJAKAN EKONOMI DALAM ISLAM



KEBIJAKAN EKONOMI DALAM ISLAM
(MAKALAH DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH : EKONOMI SYARIAH)
DOSEN: Dr. Amiruddin K, MEI

Disusun oleh :
KELOMPOK 11

Ø  TRY SUTRIANI (90400114117)
Ø  MURSALIM (90400114099)


AKUNTANSI 2014
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dunia  yang  berkembang  terus  dengan  jumlah  penduduk  yang  semakin  banyak menimbulkan  berbagai  macam  permasalahan  dalam  kehidupan  manusia  sehari-hari. Termasuk dalam hal ini adalah masalah bagaimana cara manusia untuk dapat mencukupi berbagai  kebutuhan  hidupnya  sehari-hari.  Masalah  ini  dapat  dikategorikan  sebagai masalah-masalah perekonomian.
Perkembangan ekonomi sangat terkait dengan kebijakan suatu pemerintahan, maka dalam prakteknya pada setiap masa pemerintahan sistem ekonomi ini memiliki wajah yang beragam. Adanya keragaman ini, kiranya dapat menjadi pelajaran berharga bagi setiap orde pemerintahan dalam perumusan suatu kebijakan yang sedapat mungkin bisa merujuk pada cita-cita mulia dari sistem ekonomi itu sendiri.
Dalam Islam dikenal dua macam kebijakan ekonomi yaitu, kebijakan ekonomi fiskal dan kebijakan ekonomi moneter. Dalam sejarah kebijakan ekonomi Islam banyak cendekiawan yang menyumbangkan pemikiran mengenai cara-cara mengatasi permasalahan ekonomi. Salah satunya yang paling terkenal adalah Ibnu Khaldun dengan teorinya konsep perpajakan.
Alasan suatu negara menerapkan konsep kebijakan ekonomi Islam adalah untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya ekonomi yang ada dan  mengatasi masalah ekonomi antara lain semakin meningkatnya angka pengangguran, menurunnya daya beli masyarakat, menurunnya nilai investasi, dan sebagainya. Selain itu dalam melaksanakan kebijakan ekonomi sangat diperlukan peran serta pemerintah supaya tidak terjadi penyelewengan anggaran sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.


B.     Rumusan Masalah         
  1. Bagaimana konsep dasar perekonomian Islam?
  2. Bagaimana kebijakan fiskal dalam Islam?
  3. Bagaimana kebijakan moneter Islam?

C.    Tujuan Pembahasan
  1. Untuk mengetahui konsep dasar perekonomian Islam.
  2. Untuk mengetahui kebijakan fiskal dalam Islam.
  3. Untuk mengetahui kebijakan moneter dalam Islam.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.                Konsep Dasar Perekonomian Islam
Konsep dasar ekonomi Islam berangkat dari pemahaman secara utuh dan mendalam terhadap filsafat ekonomi Islam. Karena implikasi dari asas filsafat ini dapat dijadikan sebagai kerangka konstruksi sosial dan tingkah laku sistem, yaitu tentang organisasi kepemilikan, pembatasan tingkah laku individual dan norma  pelaku ekonomi. Nilai-nilai dasar sistem ekonomi Islam merupakan implikasi dari asas filsafat ekonomi tauhid. Adapun nilai-nilai dasar daripada sistem ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
Pertama, Nilai dasar kepemilikan. Kekhasan konsep Islam mengenai kepemilikan ini terletak pada kenyataan bahwa dalam Islam, legitimasi kepemilikan itu tergantung pada moral. Kepemilikan terletak pada memiliki kemanfaatannya dan bukan menguasainya secara mutlak atas sumber-sumber ekonomi karena kepemilikan harta secara absolut hanya ada pada Allah semata. Sehingga seorang Muslim yang tidak memproduksi manfaat dari sumber-sumber yang diamanatkan Allah padanya akan kehilangan hak atas sumber-sumber tersebut, seperti yang berlaku terhadap pemilikan lahan. Hadis Nabi saw:
 Garaplah tanah karena Allah dan Rasul, kemudian itu akan menjadi hakmu. Barang siapa menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan tidak berhak memilikinya orang yang sekedar memagarinya dengan tembok setelah tiga tahun.

Pemilikan terbatas pada sepanjang umurnya selama hidup di dunia dan bila ia mati, maka harta peninggalannya harus didistribusikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan Islam, setelah dilakukan kewajiban-kewajiban yang berkenaan dengan si mayit (pemilik harta).
 Seperti dalam firman Allah:

 “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak untuk berwasiat kepada ibu bapaknya dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”(al-Qur’an, 2:180.)
Tidak diperbolehkan kepemilikan secara perseorangan terhadap sumber- sumber yang menyangkut kepentingan umum dan sumber-sumber alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sumber-sumber ini menjadi milik umum atau negara. Hadis Nabi saw:
“Semua orang Islam berserikat dalam tiga hal: dalam hal air, rumput, api. (HR. Ahmad dan Abu Daud)=

Tiga macam barang ini juga dapat dikiaskan kepada barang tambang dan minyak bumi serta kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada waktu dan kondisi tertentu. Dalam kategori milik umum ini termasuk sumber-sumber air minum, hutan, laut dan isinya, serta udara dan ruang angkasa.
Kedua, Keseimbangan. Merupakan nilai dasar yang pengaruhnya terlihat pada berbagai aspek tingkah laku ekonomi muslim, misalnya kesederhanaan (moderation),  hemat (parsimony) dan menjauhi sifat pemborosan (extravagance).
Konsep kesederhanaan ini tidak hanya berupa timbangan kebajikan hasil dari usahanya yang diarahkan untuk dunia dan akhirat saja, tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan antara kepentingan kebebasan perseorangan dengan kepentingan umum, serta keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Seperti yang difirmankan Allah berikut:

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka”

Konsep nilai kesederhanaan berlaku dalam tingkah laku ekonomi terutama dalam menjauhi sifat konsumtif. Menjauhi pemborosan berlaku tidak hanya untuk pembelanjaan yang diharamkan tetapi juga pembelanjaan dan sedekah yang berlebihan. Apabila suatu waktu keseimbangan ini terganggu dan terjadi ketimpangan–ketimpangan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat, maka haruslah ada tindakan-tindakan untuk mengembalikan ke keseimbangan semula.
Berbagai ujian di dunia ini, seperti kelaparan, kemiskinan, sempitnya lapangan pekerjaan dan lain-lain, mengakibatkan keseimbangan terganggu, kestabilan dan keamanan pun terganggu. Dalam keadaan demikian Islam telah menggariskan suatu aturan untuk mengadakan distribusi kekayaan dengan mengambil dari yang kaya dan menyalurkan kepada yang miskin dengan pembagian zakat, sedekah, hibah dan waris. Kemungkinan tindakan lain misalnya nasionalisasi industri atau kegiatan ekonomi lain yang dapat mengimplikasikan nilai dasar keseimbangan.
Ketiga, Keadilan Sosial. Al-Qur’an merujuk pada konsep keadilan yang merupakan istilah ketiga di antara istilah-istilah yang paling sering digunakan setelah “Allah” dan “Ilmu Pengetahuan”. Boleh jadi keadilan dianggap sebagai konsep yang lebih luas dimana keadilan sosial memperoleh kedudukan utama. Dalam kenyataannya, banyak penulis kontemporer menegaskan bahwa keseluruhan infrastruktur hukum di dalam Islam di dasarkan pada keadilan sosial.
Konsep keadilan sosial, sebagaimana yang sering dibahas oleh pemikir- pemikir kontemporer itu bersifat multidimensional. Kedilan berkaitan dengan dan berintikan kebenaran (al-haq); persamaan di hadapan hukum, dijaminnya persamaan di dalam pendidikan yang merupakan tanggungjawab negara; dilaksanakannya pajak kekayaan untuk penyediaan kebutuhan dasar bagi mereka yang tidak beruntung dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi. Keadilan berarti pula kebijaksanaan dalam mengalokasikan sejumlah hasil tertentu dari kegiatan ekonomi bagi mereka yang tidak mampu memasuki pasar atau tidak sanggup membelinya menurut kekuatan pasar, yaitu kebijaksanaan melalui zakat, infaq dan sedekah.
Demikianlah nilai-nilai dasar dari sistem ekonomi dalam perspektif Islam yaitu kebebasan terbatas terhadap kepemilikan harta dan sumber-sumber kekayaan, nilai keseimbangan dan nilai keadilan yang merupakan kebulatan nilai yang tidak bisa dipisahkan. Pangkal tolak nilai dasar ini, kemudian melahirkan nilai-nilai instrumen yang terealisasi dalam pelarangan riba, diperintahkannya zakat, sedekah dan infaq.



B.                 Kebijakan Fiskal dalam Islam
            Kebijakan fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang. Kebijakan fiskal lebih banyak peranannya dalam ekonomi Islam dibanding dengan ekonomi konvensional. Hal ini disebabkan antara lain sebagai berikut:
a.       Peranan moneter relatif lebih terbatas dalam ekonomi Islam dibanding dalam ekonomi konvensioanal yang tidak bebas bunga.
b.      Dalam ekonomi Islam, pemerintah harus memungut zakat dari setiap muslim yang memiliki kekayaan melebihi jumlah tertentu (nisab) dan digunakan untuk tujuan-tujuan sebagaimana tercantum dalam QS Al-Taubah: 60.
c.       Ada perbedaaan substansial antara ekonomi Islam dan non-Islam dalam peranan pengelolaan utang publik. Hal ini karena utang dalam Islam adalah bebas bunga, sebagian besar pengeluaran pemerintah dibiayai dari pajak atau berdasarkan atas bagi hasil. Dengan demikian, ukuran utang publik jauh lebih sedikit dalam ekonomi Islam dibanding ekonomi konvensioanal (Istanto, 2013: 1).

            Menurut Metwally, setidaknya ada 3 tujuan yang hendak dicapai kebijakan fiskal dalam ekonomi islam:
a.       Islam mendirikan tingkat kesetaraan ekonomi dan demokrasi yang lebih tinggi, ada prinsip bahwa “ kekayaan seharusnya tidak boleh hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. “ Prinsip ini menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat seharusnya dapat memperoleh akses yang sama terhadap kekayaan melalui kerja keras dan usaha yang jujur.
b.      Islam melarang pembayaran bunga dalam berbagai bentuk pinjaman. Hal ini berarti bahwa ekonomi Islam tidak dapat memanipulasi tingkat suku bunga untuk mencapai keseimbangan (equiblirium) dalam pasar uang (yaitu anatara penawaran dan permintaan terhadap uang). Dengan demikian, pemerintahan harus menemukan alat alternatif untuk mencapai equilibrium ini.
c.       Ekonomi Islam mempunyai komitmen untuk membantu ekonomi masyarakat yang kurang berkembang dan untuk menyebarkan pesan dan ajaran Islam seluas mungkin. Oleh karena itu, sebagaian dari pengeluaran pemerintah seharusnya digunakan untuk berbagai aktivitas yang mempromosikan Islam dan meningkatkan kesejahtaraan muslim di negara-negara yang kurang berkembang (Istanto, 2013: 1).

            Jika melihat praktek kebijakan fiskal yang pernah diterapakn oleh Rasulullahndan Khulafaurrasyidin, maka kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dapat dibagi dalam 3 hal, yaitu:
  1. Kebijakan pemasukan dari kaum Muslimin, yaitu:
1)      Zakat, yaitu salah satu dari dasar ketetapan Islam yang menjadi sumber utama pendapatan di dalam suatu pemerintahan Islam pada periode klasik.
2)      Ushr, yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dimana pembayarannya hanya sekali dalam satu tahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Yang menarik dari kebijakan Rasulullah adalah dengan menghapuskan semua bea impor dengan tujuan agar perdagangan lancar dan arus ekonomi dalam perdangan cepat mengalir sehingga perekonomian di negara yang beliau pimpin menjadi lancar. Beliau mengatakan bahwa barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah muslim, bila sebelumya telah terjadi tukar menukar barang.

3)      Wakaf adalah harta benda yang didedikasikan kepada umat Islam yang disebabkan karena Allah SWT dan pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
4)      Amwal Fadhla berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.

5)      Nawaib yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang tabuk.
6)      Khumus adalah harta karun/temuan. Khumus sudah berlaku pada periode sebelum Islam.
7)      Kafarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada acara keagamaan seperti berburu di musim haji. Kafarat juga biasa terjadi pada orang-orang muslim yang tidak sanggup melaksanakan kewajiban seperti seorang yang sedang hamil dan tidak memungkin jika melaksanakan puasa maka dikenai kafarat sebagai penggantinya (Sirojuddin, 2013: 1).

  1. Kebijakan pemasukan dari kaum non muslim, yaitu:
1)      Jizyah (tribute capitis/ pajak kekayaan) adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim khususnya ahli kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.
2)      Kharaj (tribute soil/pajak, upeti atas tanah) adalah pajak tanah yang dipungut dari kaum nonmuslim ketika khaibar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Prosedur yang sama juga diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang penting.
3)      ‘Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham (Sirojuddin, 2013: 1).

  1. Kebijakan Pengeluaran
            Kebijakan Pengeluaran pendapatan negara didistrubusikan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Di antara golongan yang berhak menerima pendapatan (distribusi pendapatan) adalah berdasarkan atas kreteria langsung dari Allah S.W.T yang tergambar di dalam al-Qur’an QS. At-Taubah Ayat 90:
            Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana. (QS. 9:60)
Orang-orang yang berhak menerima harta zakat ini terkenal dengan sebutan delapan ashnaf. Delapan asnab ini langsung mendapat rekomendasi dari Allah S.W.T sehingga tidak ada yang bisa membatahnya. Ini artinya kreteria dalam al-Qur;an terhadap orang-orang yang berhak mendapatkan atas kekayaan negara lebih rinci dibandingkan dengan kreteria yang tetapkan oleh pemerintah kita yang secara umum di-inklud-kan kepada orang-orang miskin saja (Sirojuddin, 2013: 1).










C.                 Kebijakan Moneter dalam Islam
            Kebijakan moneter yang diformulasikan dalam sebuah perekonomian Islam adalah menggunakan cadangan uang dan bukan suku bunga, bank sentral harus menggunakan kebijakan moneter untuk menghasilkan suatu pertumbuhan dalam sirkulasi uang yang mencukupi untuk untuk membiayai pertumbuhan potensial dalam output dalam periode menengah dan panjang dalam kerangka harga yang stabil dan sasaran sosio ekonomi lainnya. Tujuannya untuk menjamin ekspansi moneter yang pas, tidak terlalu lambat tetapi tidak terlalu cepat, tetapi mampu menghasilkan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat.

      a. Mazhab pertama (iqtishaduna)
              Pada awal Islam dapat dikatakan bahwa tidak diperlukan suatu kebijakan moneter dikarenakan hampir tidak adanya sistem perbankan dan minimnya penggunaan uang, jadi tidak ada alasan yang memadai untuk uang hanya dipertukarkan dengan sesuatu yang benar- benar memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Transaksi seperti judi, riba dilarang dalam Islam sehingga keseimbangan seperti arus uang dan barang / jasa dapat dipertahankan. Jika diperhatikan, maka tampak bahwa perputaran uang dalam periode tertentu sama dengan nilai barang dan jasa yang diproduksi pada rentang waktu yang sama.
              Menurut mazhab Iqtishaduna, instrument yang digunakan adalah berhubungan dengan konsumsi, tabungan dan investasi, serta perdagangan telah menciptakan instrumen otomatis untuk pelaksanaan  kebijakan moneter. Pada satu sisi sistem ini menjamin keseimbangan uanng dan barang/ jasa dan pasa sisi lainnya mencegah penggunaan tabungan untuk tujuan selain menciptakan kesejahteraan yang lebih nyata masyarakat.


b. Mazhab kedua (Mainstream)
              Tujuan kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah adalah maksimisasi sumber daya (resources) untuk kegiatan perekonomian  produktif. al- Quran melarang praktek penumpukan (Money hoarding) karena membuat uang tersebut tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kekayaan yang menumpuk tersebut akan menjadikan sumber dana yang sebenarnya produktif menjadi tidak produktif. Oleh karena itu, mazhab ini merancang sebuah instrument kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi kecilnya permintaan uang agar dapat dialokasikan pada peningkatan produktifitas, perekonomian secara keseluruhan.

c. Mazhab ketiga (Alternatif)
              Mazhab ini sangat banyak dipengaruhi oleh pemikir- pemikir ilmiah Dr. M.A. Choudhury. Sistem kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab ini adalah berdasarkan musyawarah sebelumnya dengan otoritas sektor riil. Jadi, keputusan- keputusan kebijakan moneter yang kemudian dituangkan dalam bentuk instrumen moneter biasanya adalah harmonisasi dengan kebijakan- kebijakan disektor riil.
              Menurut pemikiran yang ada pada mazhab ini, kebijakan moneter itu adalah repeated gamer in the game theory dimana bentuk kurva penawaran dan permintaan uang adlah seperti tambang yang melilit dan berlslope positif sebagai akibat dari know leadge induced process dan information sharing yang amat baik.


2.4 Tujuan Kebijakan Ekonomi
Dalam bukunya “Ekonomi Islam, Telah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam“, Dr Monzer Kahf menyatakan beberapa tujuan kebijakan ekonomi yang cukup penting yang perlu diperhatikan. Diantara beberapa tujuan tersebut adalah adanya upaya untuk memaksimalkan tingkat sumber-sumber daya ekonomi yang ada yang merupakan tujuan utama dari pembangunan. Yang dimaksud dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada adalah seluruh sumber daya yang ada di dalam suatu negara, baik itu yang berupa  sumber  daya  alam  ataupun  sumber  daya  manusia  dapat  digunakan  untuk kepentingan   pembangunan.   Pembangunan   wajib   dilaksanakan   oleh   pemerintah, dikarenakan ada tiga tujuan utama yang harus dicapai, yaitu pemerintah dituntut untuk menjamin standar hidup yang minimum bagi para warga negaranya. Kedua, pemerintah yang  ada  diwajibkan  untuk  mempergunakan  berbagai  sumber  daya  yang  ada  dan diperolehnya untuk mempercerdas masyarakatnya, dan yang terakhir adalah pemerintah wajib membangun negara dan masyarakat yang kuat agar negaranya mampu bersaing di dalam  dunia  internasional.  Selain  itu,  tujuan  daripada  pembangunan  adalah  untuk meminimisasi kesenjangan yang ada di dalam suatu negara, agar masyarakat yang hidup di dalam negara tersebut tidak hidup dalam kesenjangan ekonomi yang sedemikian besar. Dalam rangka mewujudkan kebijakan ekonomi seperti itulah, diperlukan berbagai alat- alat kebijakan ekonomi, dan alat itu diantaranya adalah kebijakan fiskal, yang berintikan pada beberapa  hal yang utama, yaitu pajak dan konsep keuangan publik.


















BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
            Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.Kebijakan fiskal dapat dibedakan kepada dua golongan : penstabil otomatik dan kebijakan fiskal diskresioner. Jika dilihat dari perbandingan jumlah penerimaan dengan jumlah pengeluaran, kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :Kebijakan Anggaran Seimbang, Kebijakan Anggaran Defisit, Kebijakan Anggaran Surplus, Kebijakan Anggaran Dinamis.
            Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mencegah pengangguran dan menstabilkan harga, implementasinya untuk menggerakkan pos penerimaan dan pengeluaran dalam anggran pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang berurutan, yaitu : bagaimana suatu kebijaksanaan fiskal diterjemahkan menjadi suatu APBN dan bagaimana APBN tersebut mempengaruhi perekonomian.
            Kebijakan fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang. Kebijakan fiskal lebih banyak peranannya dalam ekonomi Islam dibanding dengan ekonomi konvensional

            Kebijakan moneter merupakan kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Jumlah uang yang beredar dalam analisis ekonomi makro, mempunyai pengaruh penting terhadap tingkat output perekonomian, juga terhadap stabilitas harga- harga, jika uang yang beredar terlalu tinggi tanpa disertai dengan kegiatan produksi yang seimbang akan  berakibat kenaikan harga barang dan jasa atau yang dikenal dengan inflasi.
              Kestabilan makroekonomi merupakan hasil dari sebuah upaya yang konsisten dan integral yang dilakukan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah melalui kebijakan moneter, perbankan, dan fiskal. Kebijakan moneter dilakukan oleh Bank Indonesia adalah untuk mengendalikan laju inflasi dan membantu kestabilan nilai tukar karena stabilitas harga merupakan  prasyarat bagi pemulihan dan kelancaran roda perekonomian.
              Adapun kebijakan moneter dalam perekonomian modern dilakukan dengan berbagai instrumen yaitu:
1. Instrumen Moneter Konvensional
              Bank sentral dalam melakukan implementasi kebijakannya mempunyai empat macam instrumen utama yaitu:
  1. Operasi pasar terbuka (Open Market Operation) atau OMO
Operasi pasar terbuka adalah pembelian dan penjualan sekuritas pemerintah (government securities) yang dilakukan oleh bank sentral. Sekuritas tersebut biasanya berbentuk obligasi.
  1. Tingkat diskonto (Discount Rate) atau fasilitas diskonto
Instrumen kebijakan moneter ini berkaitan dengan fasilitas yang dimiliki oleh bank- bank untuk meminjam uang secara langsung kepada bank sentral.
  1. Ketentuan cadangan minimum (Reserve Requirement)
Industri perbankan adalah salah satu industri yang paling banyak diatur oleh undang- undang. Salah satu bentuk pengaturan tersebut adalah ketentuan cadangan minimum atau RR yang biasanya ditetapkan berdasarkan undang- undang perbankan yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kebijakan cadangan minimum adalah kebijakan bank sentral untuk menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara menaikkan atau menurunkan cadangan minimum yang harus dipenuhi oleh bank umum, dalam mengedarkan atau memberikan kredit kepada masyarakat.
  1. Himbauan Moral (Moral Suasion)
Bank sentral dapat menggunakan himbauan moral untuk mendorong institusi finansial agar cenderung berpihak kepada kepentingan publik.

2. Instrumen Moneter Islam   
              Pada instrumen moneter Islam ada beberapa pandangan diantaranya:
  1. Mazhab pertama (Iqtisaduna)
            Pada awal Islam dapat dikatakan bahwa tidak diperlukan suatu kebijakan moneter dikarenakan hampir tidak adanya sistem perbankan dan minimnya penggunaan uang, jadi tidak ada alasan yang memadai untuk uang hanya dipertukarkan dengan sesuatu yang benar- benar memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
  1.  Mazhab kedua (Mainstream)
            Tujuan kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah adalah maksimisasi sumber daya (resources) untuk kegiatan perekonomian  produktif. al- Quran melarang praktek penumpukan (Money hoarding) karena membuat uang tersebut tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
  1. Mazhab ketiga (Alternatif)
            Menurut pemikiran yang ada pada mazhab ini, kebijakan moneter itu adalah repeated gamer in the game theory dimana bentuk kurva penawaran dan permintaan uang adlah seperti tambang yang melilit dan berlslope positif sebagai akibat dari know leadge induced process dan information sharing yang amat baik


DAFTAR PUSTAKA


Hafizah, Yulia. 2005, Kebijakan Ekonomi Indonesia Ditinjau Dari Konsep Dasar Ekonomi Islam, http://islamicvillage.net/stit/library/modul/, diakses 4 Desember 2015.
Muksinin, Ladlul. 2015. Kebijakan Fiskal dalam Islam. http://pustakamediasyariah.blogspot.co.id/2015/05/makalah-pes-kebijakan-fiskal-dalam-islam.html#.VnbEar82WGs, diakses 5 Desember 2015.
Manaf, Rosdiana. Dkk. 2011. Kebijakan Moneter dalam Islam. http://journeyofarose88.blogspot.co.id/2011/07/kebijakan-moneter-menurut-islam.html, diakses 7 Desember 2015.